Hingga saat ini, permasalahan jerawatku belum juga usai. Sudah beberapa kali treatment ke dokter dan menetapkan skincare yang ak...
Progress Jerawat Membangkang
Tingkah salah satu oknum pengurus RW yang meminta THR untuk pengurus RW dengan menetapkan jumlah anggarannya tentu membuat gedek sebagian be...
Telisik Komentar tentang RT dan RW
Tingkah salah satu oknum pengurus RW yang meminta THR untuk pengurus RW dengan menetapkan jumlah anggarannya tentu membuat gedek sebagian besar orang, termasuk aku salah satunya. Tingkah absurd pengurus RT atau RW memang seringkali membuat aku bertanya-tanya, seberapa penting adanya RT dan RW? Apakah bisa jika tidak perlu ada RT dan RW? Pemikiran atau pertanyaan tersebut aku tuangkan dalam sebuah komentar pada akun instagram tersebut. Ternyata eh ternyata, komentar tersebut memberikan berbagai reaksi dari netizen. Paling banyak adalah reaksi kontra. Namun, sangat disayangkan reaksi kontra tersebut dirasa tidak diimbangi oleh pemahaman yang jelas tentang maksud komentarku. Oleh karena itu mari kita bedah komentarnya dan aku coba jelaskan maksud dari komentar tersebut.
- Kalo ngomong dipikir dulu, minimal survei
- BACOT
- Kelompok masyarakat? Ormas maksudnya?
- Coba dulu jadi pengurus RT dan RW, mereka sukarela
- Jangan menyamaratakan semua RT dan RW
Sampai aku memutuskan menulis di blog ini, berarti kekecewaanku sudah menyapai puncak, emosiku mulai merangkak naik. Namun, aku hanya bisa m...
Pinjaman yang Berujung Emosi
Sampai aku memutuskan menulis di blog ini, berarti kekecewaanku sudah menyapai puncak, emosiku mulai merangkak naik. Namun, aku hanya bisa melampiaskannya di sini, terlalu membuang energi kalau aku harus menceritakannya ke teman-teman dan marah-marah ke pihak bank.
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya pada tulisan Migrasi ke Perbankan Syariah, Perlahan tapi Pasti, aku melakukan pinjaman ke salah satu bank syariah yang ada di Indonesia. Tujuan pinjamanku adalah untuk melakukan take over dari KPR. Tentunya aku pinjam lebih dari sisa pokok hutang yang harus aku bayar. Hal ini sebagai antisipasi biaya-biaya lain yang akan timbul akibat pelunasan sebelum jatuh tempo.
Sehubungan dengan kejujuranku ini, permohonaku dibagi menjadi dua pinjaman yang direalisasikan melalui dua akad kredit. Akad kredit yang pertama adalah akad take over sebesar 3/4 dari total pinjaman dan akad yang kedua adalah akad top up sebesar 1/4 total pinjaman. Pada saat akad pun aku memutuskan untuk memotong biaya asuransi dari pinjaman. Keesokan harinya dana talangan biaya asuransi, pinjaman take over, dan pinjaman top up masuk ke rekeningku. Tak lama dari itu, dana talangan ansuransinya terpotong sebagai tanda pembayaran asuransi. Pihak bank pun menghubungiku untuk mengembalikan dana tangan tersebut. Aku pun langsung mentransfer sejumlah biaya asuransi tersebut.
Hal yang paling mengherankan, ketika aku mengecek saldo, jumlahnya tidak sesuai. Setelah aku cek portofolionya, ternyata terdapat saldo terblokir. Setelah dikonfirmasi, ternyata saldo terblokir itu terdiri dari pinjaman top up ditambah dua kali angsuran. Kalau dua kali angsuran diblokir, aku masih sangat mewajarinya karena pengalaman KPR kemarin memang seperti itu. Tapi kalau pinjaman top up-nya diblokir, ini benar-benar tidak habis pikir. Aku menambah pinjaman dengan tujuan sebagai antisipasi, kalau ternyata diblokir, bagaimana cara aku melunasi KPR. Aku pun protes kepada pihak bank. Jawabannya adalah pembukaan blokir akan dilakukan jika aku memberikan surat lunas KPR. Emosiku masih bisa terkendali, oke berarti aku harus buru-buru melunasi KPR.
Atas saran dari teman, karena aku melakukan pembayaran cicilan KPR tepat waktu, aku bisa mengajukan keringanan pelunasan. Keringanan tersebut berupa pengurangan biaya administrasi, denda, dan biaya lainnya. Setelah sekitar semingguan pengajuanku tidak ada tindaklanjutnya, akhirnya aku datangi bank pemberi KPR. Ternyata pengajuan keringananku belum di-acc. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan pelunasan tanpa keringanan. Akhirnya, aku mendapat surat keterangan lunas dan berkas-berkas lain yang menjadi jaminan permohonan KPR-ku.
Tanpa ba bi bu, aku langsung menghubungi pihak bank syariah dan berencana mau menyampaikan surat keterangan lunas dan SK kerja yang belum sempat aku kirimkan. Pihak bank menyampaikan bahwa bisa dikirim via Whatsapp. Akupun langsung mengirimkannya. Tamun setelah beberapa hari tidak ada perkembangan yang signifikan. Besaran saldo terblokir masih sama. Pihak bank pun tidak membalas pesanku. Karena saking kesalnya, aku datangi kantor bank tersebut. Dan hasilnya adalah NIHIL. Pihak bank yang berkontak denganku tidak ada di kantor, pihak CS hanya formalitas saja komunikasi denganku. Sungguh sia-sia dan membuang-buang waktu.
Sejujurnya aku tidak terlalu butuh pinjaman top up ini karena aku sudah melunasi KPR-ku. Tapi setiap kubuka menu pinjaman dalam mobile banking, tertera jumlah pinjaman dan jumlah yang harus aku bayar hingga jatuh tempo. Dan jumlah yang harus aku bayar hampir dua kali lipat jumlah yang aku pinjam. Jika terus dibiarkan terblokir sama saja aku hanya memberi makan orang bank secara cuma-cuma. Jika aku minta untuk dilunaskan pun, aku harus membayar denda sebesar dua kali cicilan, dan itu sama saja seperti ngasih duit cuma-cuma buat orang bank, padahal masa cicilanku baru 2 bulan.
Sumpah ini ZALIM banget. Jahat banget. Mempermainkan orang dengan uang. Sangat mencari keuntungan dari orang yang pinjam uang. Aku sampai capek banget mau ngurusnya. Semoga Allah yang balas deh. Sekian ceritaku, untuk lebih jelasnya, aku coba berikan kronologinya.
Kronologi
5 - 13 Januari - pengumpulan berkas pinjaman ke bank syariah
17 Januari - pinjaman disetujui sekaligus akad
18 Januari - dana talangan asuransi cair
20 Januari - pinjaman take over dan top up cair, dana talangan asuransi dikembalikan
24 Januari - pengajuan permohonan pelunasan KPR dan keringanan biaya administrasi ke bank konvensional
25 Januari - konfirmasi saldo terblokir
21 Februari - pelunasan KPR tanpa keringanan
22 Februari - penyampaian pelunasan KPR kepada bank syariah
24 Februari - konfirmasi tindak lanjut bukti lunas (tidak direspons)
3 Maret - Datang ke bank untuk menanyakan tindak lanjut tapi tidak ada hasil dan solusi
6 Maret - Pihak bank menyampaikan bahwa pengajuanku sudah dilakukan beberapa hari yang lalu
15 Maret - Pihak bank menanyakan ketersediaan waktu untuk mengambil SK kerja
31 Maret - Aku menanyakan ke pihak bank kapan mengambil SK kerja dan beliau menjawab bahwa Senin, 4 April akan ke kantor.
4 Mei - Aku mengajukan pelunasan pinjaman top-up
15 Mei - SK dan surat lunas dari bank sebelumnya sudah diambil
6 Juni - Saya tanyakan kapan perhitungan pelunasannya selesai karena sampai saat ini belum ada kabar
Hingga saat, pihak bank belum membuka saldo top-up dan memotongnya untuk melunasi pinjaman top-up.
Sesungguhnya setiap manusia ingin memperbaiki diri walau hanya sedikit. Sebagai seorang yang tidak seratus persen idealis, rasa untuk berjal...
Migrasi ke Perbankan Syariah, Perlahan tapi Pasti
Sesungguhnya setiap manusia ingin memperbaiki diri walau hanya sedikit.
Sebagai seorang yang tidak seratus persen idealis, rasa untuk berjalan di jalan yang ideal tentu selalu ada walau tidak harus sempurna. Salah satu yang aku pikirkan pada akhir tahun 2022 yang lalu adalah terkait masalah finansial. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, ingin aku pindahkan ke syariah. Memang banyak yang bilang sistem keuangan syariah itu sama saja seperti sistem keuangan konvensional. Namun setidaknya, upaya aku menjauhi riba bisa jadi amalan baik buat aku sendiri. Jika dosa riba keuangan konvensional adalah satu, mungkin dosa riba keuangan syariah adalah setengah. Wallahualam, semoga Allah mengampuni segala dosaku.
Saat ini pula, aku mempunyai KPR di salah satu bank konvensional selama 20 tahun. Saat ini memasuki tahun ketiga cicilan dengan bunga flat. Hingga kurang lebih dua setengah tahun ini, aku merasa tidak keberatan dengan cicilan. Namun, aku agak was-was ketika memasuki tahun keempat karena akan memasuki bunga floating yang besarannya tidak menentu. Pahit-pahitnya adalah jika bunganya mencapai maksimal, yaitu sekitar 10-12%. Tentunya itu sangat mencekik penghasilanku. Hal yang sangat membuat sedih adalah uang yang selama ini aku bayarkan kurang lebih sekitar 20% dari hutang, ternyata hanya berkurang 3% dari hutang. Artinya selama ini aku hanya membayar bunga.
Aku melakukan riset kecil-kecilan, baik dari internet maupun bertanya ke teman. Ternyata memang benar, skema kredit di bank konvensional, di awal cicilan memang porsi bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok sedangkan di akhir porsi bunga akan lebih kecil dibanding dengan pokok. Namun, dengan bunga floating, tentunya pengeluaran untuk cicilan akan tidak terkontrol. Aku pun mencari tahu skema pembiayaan di perbankan syariah. Cicilan di perbankan syariah itu flat selama tenor. Namun banyak yang bilang, jumlah yang dibayarkan hingga lunas besarannya sama saja seperti perbankan konvensional bahkan bisa lebih besar. Tapi sekali lagi, besaran cicilannya tetap, sehingga kita tahu besaran yang harus kita keluarkan tiap bulannya.
Setelah berpikir panjang, berdiskusi bersama orang tua, dan teman yang paham terkait hal tersebut. Akhirnya aku yakin untuk memindahkan semua urusan keuangan ke perbankan syariah. Langkah pertama yang aku lakukan adalah memindahkan rekening payroll ke bank syariah. Kebetulan kantorku bekerjasama dengan salah satu bank syariah. Setelah melakukan pembukaan rekening, aku langsung mengurus proses mutasi rekening payroll. Memang tidak langsung, pengajuanku di Januari, baru Maret gajiku masuk rekening syariah.
Langkah kedua, aku mengajukan pinjaman ke bank syariah yang bekerjasama dengan kantorku. Keuntungannya adalah kredit yang aku ajukan tanpa agunan, namun konsekuensinya aku terjebak di kantor dalam waktu yang cukup panjang. Proses pinjaman ini tidak terlalu lama dan aku pun tidak buru-buru juga. Langkah ketiga adalah melakukan pelunasan di bank konvensional. Langkah terakhir adalah menutup semua rekening bank konvensional yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Untuk kepentingkan keuangan, tentunya aku tidak menutup diri pada bank konvensional. Aku hanya mempersempit perbankan dalam pengelolaan keuanganku. Rencananya aku hanya menggunakan satu rekening bank syariah dan satu rekening bank digital. Untuk lembaga keuangan non-bank, aku menggunakan beberapa layanan dompet digital untuk belanja.
Semoga rencanaku ini bisa berjalan mulus dan niat baikku ini bisa menjadi catatan kebaikan. Aamiin ya robbalalaamiin.
Oh ya, sebagai tambahan, aku juga mau cerita tentang proses kredit di bank syariah dan pelunasan di bank konvensional. Semoga pengalaman ini bisa menjadi masukan buat teman-teman ya.
Kredit di Bank Syariah
Setelah memindahkan rekening payroll ke bank syariah, aku coba cari informasi terkait kredit tanpa agunan yang biasanya ditawarkan ke para pegawai. Akhirnya aku bertemu dengan marketing kredit. Syarat yang ditawarkan cukup mudah dan bisa diurus kurang lebih selama satu minggu.
Sebut saja sisa pokok hutangku itu 80. Karena khawatir ada biaya-biaya lain dalam proses pelunasan di bank konvensional, aku pinjam 100 di bank syariah. Ini juga merupakan pengalaman pertama take over kredit, maka ketika pinjamannya dibagi dua, aku setuju-setuju saja. Jadi, akadnya nanti dua kali, akad take over kredit sebesar 80 dan akad top up sebesar 20.
Waktu itu, aku dipaksa akad cepat. Jam 6 sore, aku datang ke cabang untuk melakukan akad kredit. Saat akad aku juga dikasih pilihan, untuk pembayaran asuransinya. Aku memilih asuransinya dipotong dari pinjaman.
Selang beberapa hari, pinjamanku cair, 80 dan 20 masuk ke rekening secara berurutan. Tapi mengapa saldo efektifku hanya 78. Setelah melihat rincian rekening ternyata sebesar 22 masuk pada saldo terblokir. Seingatku pada saat akad, yang diblokir itu hanya 1 atau 2 kali cicilan. Setelah dikonfirmasi ternyata pinjaman top-up diblokir. Baru akan dibuka setelah pinjaman di bank konvensional dinyatakan lunas.
Sejujurnya aku agak kecewa dengan aturan ini. Hanya saja aku tidak marah, ya mungkin terlewat saat akad. Tapi ya, akadnya juga dipaksa sore itu juga, lagi ngantuk-ngantuknya. Minta minggu depannya, pihak bank ga mau. Masalahnya, kalo total biaya yang harus dibayar pada bank konvensional itu kurang bagaimana? Ya, akupun masih punya sisa tabungan untuk biaya administrasi bank konvensional. Tapi kan aku minjem uang lebih itu buat antisipasi, kalo ujung-ujungnya pake duit sendiri, ngapain aku top-up?
Pelunasan di Bank Konvensional
Setelah pinjaman di bank syariah cair, aku langsung mengajukan permohonan pelunasan ke bank konvensional.
Pertama, aku menghubungi marketing yang dulu membantu proses KPR. Aku disuruh mengirimkan email surat permohonan ke pusat.
Oh ya, selain surat permohonan pelunasan, aku juga mengirimkan surat permohonan keringanan biaya administrasi dalam pelunasan (PSJT dan lainnya jika ada). Menurut temanku, kita bisa mengajukan keringanan selama catatan kredit kita aman dan selalu bayar tepat waktu.
Sorenya, dari pusat mengirimkan email balasan yang menyuruhku untuk mengirimkan surat permohonan itu ke kantor cabang karena pinjamanku diurus di kantor cabang. Akupun langsung mengirimkan email ke kantor cabang.
Besoknya, emailku dibalas. Isinya menyuruhku untuk mengirimkan surat asli ke kantor cabang. Aku pun mengirimkan berkas tersebut via ojek online.
Sekitar dua atau tiga hari kemudian, pihak kantor cabang menghubungiku. Aku diberikan informasi bahwa pengajuanku sedang diproses. Aku disarankan menunggu hingga dihubungi kembali.
Selang 3 minggu tidak ada konfirmasi sama sekali. Aku semakin tidak sabar setelah membaca keresahan yang sama di internet. Mayoritas menyarankan untuk mendatangi langsung kantor perbankan tersebut karena jika tidak serasa dipersulit. Waktu terus berjalan, cicilan pun terus berjalan.
Akhirnya aku memutuskan untuk memindahkan uang 80 ke bank konvensional terlebih dahulu. Setelah itu, aku berangkat menuju bank. Setelah sampai di bank pun, rasa sedikit emosi cukup berkecamuk dalam diri. Sampai lobby, aku disuruh naik ke lantai 3. Sesampainya di lantai 3, aku disuruh ke lantai 3 selatan tapi harus turun dulu ke lantai 2, jalan di lorong yang panjang, baru naik lagi ke lantai 3. Sesampainya di lantai 3, aku disuruh jalan ke bagian utara. Aku sempat nge-gas sih karena capek, takutnya aku balik lagi ke tempat semula. Ternyata tidak sih, setelah jalan cukup panjang, akhirnya aku menemukan pelayanannya. Aku menulis nama dan rekening pinjaman dan menunggu beberapa saat.
Kemudian petugas datang dan bilang, "kredit masnya lancar, seharusnya cukup kirim email saja". Sambil menahan emosi aku bilang kalo udah kirim email 3 minggu yang lalu, beserta permohonan keringanannya, tapi belum ada konfirmasi lagi. Terus dia bilang kalo KPR aku kewenangannya ada di cabang, jadi aku harus ke cabang yang ada di lantai 2 gedung tersebut. Aku diantar ke lantai 2, melewati lorong panjang yang sudah aku lewati, sesampainya di lantai 2, tempat aku akad kredit dulu, dan tidak jauh dari lobby pertama aku masuk, aku ditinggal oleh petugas yang sebelumnya, dan aku bertemu dengan orang yang menelpon 3 minggu yang lalu.
Permohonan keringananku belum disetujui. Dia juga bilang lupa menghubungi aku. Aku dikasih pilihan untuk melunasi tanpa keringanan atau dengan keringanan namun harus sabar entah sampai kapan. Akupun diberi kesempatan untuk berpikir, tinggal WA saja jika sudah ada keputusan. Setelah aku berpikir, bertanya pada orang tua, bertanya pada teman, akhirnya aku putuskan untuk melunasi tanpa keringanan. Besoknya aku WA untuk melunasi. Sorenya, saldoku sudah terpotong sebesar sisa pokok ditambah PSJT 2,5%. Tinggal mengambil berkas-berkas penting seperti bukti lunas, sertifikat sementara, dan lainnya.
Sekitar beberapa bulan yang lalu, saat sedang dilanda kegabutan, aku lihat-lihat reels Instagram. Muncullah video mengenai pembahasan cultu...
Culture Shock Tinggal di Jakarta
Sekitar beberapa bulan yang lalu, saat sedang dilanda kegabutan, aku lihat-lihat reels Instagram. Muncullah video mengenai pembahasan culture shock saat pertama kali tinggal di Jakarta. Reels tersebut diposting oleh akun love_jkt. Dalam video tersebut, terdapat tiga hal yang membuat culture shock saat pertama kali tinggal di Jakarta, yaitu mie ayam yang dijual pagi-pagi untuk sarapan, soto yang dijual malam hari, dan harus bilang teh manis jika mau pesan teh dengan rasa manis.
Aku sendiri pertama tinggal di Jakarta itu di April 2016, pada saat itu aku masih bekerja dan tinggal di Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Jujurly, aku senang sekali mengikuti environment pekerja-pekerja kantoran di Jakarta. Ditambah lagi, Jakarta termasuk daerah dengan transportasi publik terbaik di antara daerah lain di Indonesia. Suasana kesibukan meskipun harus dempet-dempetan dan penuh emosi, tapi aku suka sekali seperti berada di kota-kota besar di luar negeri.
Aku pengguna publik transport di Jakarta hingga April 2019. Setelah itu aku memutuskan untuk membawa sepeda motor dikarenakan kantorku tidak terakses oleh transportasi publik. Sebagaimana orang daerah pada umumnya, aku menggunakan motor dengan plat nomor Bandung karena aku belum merasa terlalu penting untuk pindah kependudukan. Saat menggunakan kendaraan pribadi inilah, aku merasa benar-benar shock dengan perilaku berkendara di Jakarta. Aku pernah tinggal di Bandung dan Jogja, serta pernah mengunjungi beberapa kota lainnya, tapi di Jakarta ini yang bikin aku benar-benar kaget. Selama aku tinggal di Jakarta aku kurang sadar mengenai perilaku berkendara karena aku selalu berada di dalam transportasi publik dan lebih senang mengamati fasad bangunan, fungsi lahan, fasilitas publik, dan jalur-jalur transportasi. Aku jarang sekali mengamati perilaku berkendara orang-orang yang menjadi penyebab kemacetan.
Aku menyampaikan culture shock tersebut pada kolom komentar reels yang aku lihat tersebut. Kaget tapi tidak aneh, ya karena ini Jakarta. Kota dengan segerobak penduduk dari mana-mana dengan tingkat awareness yang berbeda-beda, khususnya dalam keselamatan berkendara. Pendapatku ini bukan berarti tidak terjadi di luar Jakarta. Oh ya, maksud Jakarta di sini bukan berarti Jakarta secara administratif ya, tapi Metropolitan Jakarta atau yang kita tahu Jabodetabek, biar singkat aku sebut Jakarta aja ya.
Mlipir atau melawan arus di tepi jalan sebenarnya bukan fenomena yang aneh di seluruh Indonesia. Akupun tidak memungkiri bahwa aku pernah melakukannya juga. Berdasarkan hasil pengamatanku di daerah lain, mlipir itu biasanya dalam jarak yang dekat, entah karena kebablasan (kelewatan) atau nanggung putar balik kejauhan. Biasanya orang yang mlipir itu di saat kondisi arus lalu lintas yang sebenarnya itu dalam kondisi lengang. Tapi kalau di Jakarta, mlipir pada jarak yang cukup panjang, kecepatan yang cukup tinggi, bahkan dengan pede dilakukan pada kondisi arus yang sebenarnya sedang dalam keadaan padat atau macet. Orang yang melakukan mlipir itu tidak gentar sama sekali meskipun dia salah. Tidak hanya mlipir, memotong jalan juga sering aku temui. Memotong jalan ini termasuk putar balik tidak pada tempatnya, menyebrang jalan melewati separator, dan menyeberang jalan antar gang (jalan kecil) melewati jalan besar. Hal simpel lainnya yang sering dilanggar adalah berhenti melewati garis stop pada lampu lalu lintas dan jalan sebelum lampu berwarna hijau. Parahnya lagi, melewati pintu kereta api yang sudah tertutup. Seringkali mereka abai atas keselamatan diri sendiri.
Komentarku ini direspons oleh komentator lainnya. Komentar tersebut aku amini karena memang di daerah terasa jauh lebih tertib dibandingkan di Jakarta sebagai kota metropolitan yang sebenarnya peradabannya jauh lebih maju. Ada juga peneliti yang menyatakan bahwa Jakarta merupakan kota dualism yang mana perilaku masyarakatnya masih non-urban.
Namun setelah itu, terdapat komentar yang bernada rasisme. Dia ingin menegaskan pelaku pelanggar lalu lintas itu orang betawi atau non-betawi. Padahal perlu diketahui bahwa yang namanya penduduk Jakarta adalah orang-orang yang beraktivitas di dalamnya, apapun sukunya. Sebagai kota multikultural, sangat sulit mendifinisikan pelanggar lalu lintas berdasarkan suku.
Lalu, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa di daerah bisa lebih tertib sedangkan di Jakarta jauh lebih semrawut. Menurut pendapatku pribadi, ketertiban di daerah lebih terjaga karena ada 3 hal. Pertama, jalanan di daerah itu lebih fleksibel, tidak terlalu banyak separator jalan dan jalan satu arah. Hal ini membuat kemudahan untuk tidak mlipir dan putar balik. Kedua, kondisi lalu lintasnya pun tidak terlalu ramai dan jarang sekali macet. Ketiga, cenderung monokultur. Hal tersebut membuat sesama mereka saling menghargai dan tidak mau membuat kerugian. Berbeda dengan Jakarta yang sistem lalu lintasnya cenderung kaku, banyak jalan satu arah dan banyak jalan yang memiliki separator. Ditambah lagi, tempat putar balik cenderung jauh. Arus kendaraan yang padat dan seringkali macet, membuat banyak orang melakukan pelanggaran untuk mencari jalan pintas. Meskipun seringkali jalan pintas yang dilakukan malah menambah kemacetan. Dari sisi sosial budaya kemungkinan karena di Jakarta itu multikultur, banyak budaya. Cenderung egois. Ya egois, bukan individualis. Mereka egois tanpa mementingkan orang lain tanpa memikirkan kerugian yang akan ditimbulkan atas kesalahan mereka. Berbeda dengan individualis yang memerdekakan diri sendiri namun memahami individu lain sebagai orang yang merdeka pula. Simpelnya adalah kita bebas menggunakan jalan umum namun memikirkan pengguna jalan lainnya, jangan sampai egois dalam menggunakannya.
Awalnya, aku merasa seharusnya desain ruang bisa mengatur masyarakat. Ketika rambu lalu lintas dibuat, separator jalan dibuat, dan lainnya seharusnya dapat mengatur atau mengkondisikan perilaku masyarakat untuk menjadi lebih tertib. Tapi, ini tidak berlaku di Jakarta. Masyarakat cenderung melanggar dan memilih jalan pintas yang dirasa lebih mudah. Hal ini juga menjadi kesalahan jariyah, ketika satu pelanggar diikuti oleh orang lain, sehingga jadi banyak sekali pelanggar. Namun, pemikiranku berubah, mungkin ada yang salah dengan desain ruang tersebut. Ada yang salah dengan aturan yang dibuat. Aturan tersebut malah lebih menyulitkan masyarakat sehingga terpaksa mereka semua melanggar. Mungkin inilah yang dinamakan aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Setelah aku nyinyir terkait rencana kebijakan konversi kompor listrik yang sangat tidak konsisten dan hanya membebani masyarakat, hingga akh...
Kemarin Kompor Listrik sekarang Kendaraan Listrik
Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Anggaran Daerah yang dilaksanakan di Pekanbaru pada Kamis, 8 Desember 2022 lalu, sungguh membuatku ter...
Pernyataan Kontroversial Pimpinan Daerah Penghasil Minyak
Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Anggaran Daerah yang dilaksanakan di Pekanbaru pada Kamis, 8 Desember 2022 lalu, sungguh membuatku terkaget-kaget saat menontonnya dalam kanal Youtube Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasalnya pernyataan Bupati Kepulauan Meranti sangat kontroversial. Ternyata itupun menjadi bahan berita di berbagai kanal media.
Awalnya, Rakornas berjalan dengan baik-baik saja. Kegiatan diawali dengan laporan panitia pelaksanaan yang disampaikan oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Riau, kemudian Sambutan dan Pengarahan yang disampaikan oleh Gubernur Riau, selanjutnya penyampaian keynote speech oleh Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Setelah itu masuklah pada pemaparan materi yang dimoderatori oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemateri pada saat itu antara lain Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Pendapatan Daerah Indonesia, dan Deputi Kepa Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
Awalnya diskusi berjalan dengan tenang. Pertanyaan pertama memang sudah mempertanyakan mengenai transparansi Kementerian Keuangan dalam mengelola Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Menurut beberapa Pemda di Riau, DJPK tidak pernah transparan mengenai formulasi pembagian DBH SDA, padahal keuntungan SDA dari Riau itu sangat besar. Pada bagian ini, akupun sepakat dengan Pemda karena seringkali aku mencoba bertanya mengenai formulasi dana perimbangan, DJPK selalu berdalih tiap tahun berbeda, tiap daerah berbeda, dan untuk mengetahuinya perlu proses administrasi yang cukup rumit. Pak Dirjen Perimbangan Keuangan menjelaskan bahwa formulasi pembagian DBH SDA itu sudah sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah yang mana pembagiannya tidak hanya dibagi ke daerah penghasil tapi dibagikan pula ke daerah yang di sekitarnya sebagai fungsi pemerataan. Pada hal ini juga aku sepakat dengan Pak Dirjen karena tentunya aktivitas eksplorasi pertambangan dan perminyakan itu akan memberikan dampak pada wilayah sekitarnya, baik hal lingkungan maupun sosial. Prinsip keadilan muncul di sini, tapi memang perlu ditekankan adalah transparansi formulasi khususnya bagi daerah penghasil minyak agar tidak ada yang ditutupi-tutupi.
Masuklah pada bagian yang paling menegangkan, yaitu ketika Bupati Kepulauan Meranti berbicara dan menanyakan kembali ke mana uang mereka dari hasil eksplorasi minyak. Pak Bupati menyampaikan bahwa Kepulauan Meranti merupakan penghasil minyak yang besar, bahkan beberapa tahun belakangan ini keuntungan dari eksplorasi minyak sangat besar sesuai dengan harga minyak dunia yang mengalami kenaikan. Beliau mempertanyakan mengapa DBH SDA yang diperoleh Kepulauan Meranti hanya sedikit. Pak Dirjen terus menjelaskan pembagian sesuai dengan UU HKPD berkali-kali, namun jawaban tersebut tidak dapat diterima oleh Bapak Bupati. Beliau mengatakan hal yang buruk terkait Kementerian Keuangan, Pak Bupati berkata bahwa rakyatnya miskin, namun hasil buminya tidak ia terima. Ia menyatakan pula bahwa jika pemerintah pusat tidak mampu mengurus Kepulauan Meranti, maka ia meminta diserahkan saja ke negara tetangga atau mereka siap mengangkat senjata.
Sesungguhnya, aku cukup shock mendengar ucapan Bapak Bupati ini. Pada awalnya aku sangat mendukung transparansi, namun berbalik menjadi kekecewaan. Ucapan Pak Bupati ini terasa egois, serakah, dan radikal tapi mengatasnamakan rakyat. Menurutku, para pemimpin daerah pasti tahu bahwa sektor primer apalagi ekstraksi SDA tidak dapat diandalkan untuk kemajuan masyarakat. Hal ini dikarenakan SDA merupakan sumber daya yang tidak sustainable dan akan habis serta membutuhkan keahlian khusus yang mungkin masyarakat lokalnya tidak mempunyai kemampuan hal tersebut. Seharusnya, pemimpin daerah bisa berpikir sesuai transformasi ekonomi yang mana sektor sekunder atau sektor tersier yang jadi sektor basis daerahnya. Proses transformasi ini pun memang tidak mudah, butuh waktu dan bergerak bertahap.
Sebelum aku mengecek data APBD Kepulauan Meranti, aku yakin sekali bahwa APBD-nya tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Pas aku cek, ya memang benar saja. Kepulauan Meranti sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Jika dilihat dari postur belanjanya, pastinya belanja pegawai dan belanja barang jasa menjadi terbesar pertama dan kedua. Sangat terbaca sekali bahwa belanja daerahnya tidak berdampak langsung kepada masyarakat, kemungkinan hanya digunakan untuk kepentingan pemerintahan. Masyarakat Kepulauan Meranti akan tetap menjadi miskin karena pengelolaan keuangan daerahnya pun tren-nya sama dari tahun ke tahun.
Hal yang mengejutkan lagi adalah ketika Pak Bupati meminta diserahkan ke negara tetangga atau mereka angkat senjata. Hal ini paling mengagetkan dan kocak menurutku. Kalau mereka ingin merdeka sih oke oke aja tapi kalau minta diserahkan ke negara tetangga, berarti Pak Bupati ini juga tidak yakin bisa merdeka dan membuat rakyatnya sejahtera, malah mau menggantungkan diri pada negara tetangga. Nilai nasionalisme pimpinan daerah ini sangat melehoy, harusnya bisa memberikan kepercayaan bagi masyarakat bahwa Beliau punya inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan, tanpa bergantung pada dana transfer atau bahkan bergantung pada negara lain. Sebenarnya, bisa saja Beliau menghentikan semua aktivitas pertambangan yang ada di wilayahnya, kemudian memberikan kemudahan bagi perusahaan atau masyarakat lokal untuk mengelola dan menjual SDA. Andai saja Beliau berani melakukan hal tersebut, aku sangat mengacungkan jempol.
Satu hal lagi yang membuat aku ragu, jika semua hasil SDA diberikan pada daerah penghasil, apakah benar belanja daerahnya akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat? Dengan Beliau menginginkan hasil SDA-nya dikembalikan 100% kepada daerah ada potensi keserakahan. Menurutku akan terjadi kesenjangan yang semakin tinggi. Konflik kepentingan akan terjadi, kekayaan hanya dimiliki oleh para pejabat dan pengusaha tambang sedangkan rakyat jelata akan tetap miskin dan sulit lepas dari jerat kemiskinan.
Aku berharap Beliau bisa berpikir lebih jernih dan bersifat adil seperti namanya.
Akhirnya setelah sekian lama, aku mengalami permasalahan jerawat kembali. Sesungguhnya hingga saat ini permasalahan jerawatku yang hampir se...
Aku dan Jerawat
Eksistensi angkot di Bandung Raya masih terlihat hingga saat ini, meskipun tengah digempur oleh transportasi online, pandemi Covid-19, hingg...
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances