Selasa, 25 Februari 2020

Planning without Financing is Nothing



Planning without financing is nothing


Setiap warga masyarakat pasti menginginkan prasarana dan sarana yang menunjang aktivitas mereka. Tidak hanya itu, keberadaan prasarana dan sarana pun menjadi kebanggaan karena dapat menjadi landmark dan branding sebuah daerah. Sebagai contoh, Jakarta punya MRT. Tentu merupakan sebuah kebanggaan bagi warga Jakarta memiliki moda transportasi modern dan tak kalah dengan kota-kota di negara maju.

Bagi masyarakat, rencana yang dibuat oleh pemerintah untuk membangun modernitas perkotaan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Mereka tidak berpikir bahwa setiap pembangunan memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Banyak masyarakat yang hanya ingin merasakan setelah pembangunan itu selesai tapi tidak menyadari bahwa proses dalam pembangunan tersebut juga penuh dengan luka.

Sebagai contoh adalah rencana pembangunan LRT yang ada di Bandung Raya. Masyarakat sangat antusias sekali bahkan bangga bahwa Bandung akan mempunya moda transportasi modern. Namun, rencana yang dibangun oleh pemerintah tidak langsung dieksekusi karena sumber pembiayaannya belum cukup. Jika mengandalkan APBD, pastinya tidak akan cukup dan penggunaan APBD diprioritaskan untuk hal lain. Karena infrastruktur itu bersifat jangka panjang, maka perlu ada skema pembiayaan lain yang tepat. Persiapan dalam penentuan skema pembiayaan dan proses pelaksanaan pembiayaannya itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Kenapa? Ya ini mau bangun infrastruktur bukan mau bikin gerobak gorengan. Maka perlu perencanaan dan persiapan yang matang dan tentunya harus ada persetujuan DPRD selaku perwakilan dari masyarakat.

Sayangnya, proses tersebut tidak diketahui oleh masyarakat. Masyarakat hanya mengetahui bahwa pemerintah gagal dalam merealisasikan infrastruktur yang diidam-idamkan masyarakat.

Buat masyrakat, ikuti dan awasi prosesnya. Karena yang digunakan itu adalah uang kita bersama. Pemerintah itu bukan jin yang hanya dengan sekali jentikan jari bisa terbangun kota yang megah. Lebih bijaksanalah.

Terhindar Dari Bullying


Melihat tayangan Prime Show with Ira Koesno yang membahas "Memutus Mata Rantai Bullying" beberapa hari yang lalu, membuat aku tergelitik ingin menceritakan pengalaman. Sebagai mantan korban perundungan level ringan, tentunya perlu usaha agar dapat terlepas bahkan memutuskan rantainya. Di masa aku bersekolah, istilah bullying atau perundungan memang belum populer seperti saat ini. Begitu pula dengan dampak dari bullying itu sendiri belum separah saat ini. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat itu penyebaran berita belum semasif sekarang yang membuat korban bullying tertutupi.

Aku mengkategorikan bully-an yang pernah aku alami saat duduk di bangku SD adalah level paling ringan, yaitu masih sebatas ejekan. Sepertinya memang hanya bercandaan anak SD saja, tetapi itu cukup berpengaruh bagi psikologis aku. Pada saat aku masih SD, dapat dibilang fisik aku itu kecil dan pendek dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Sehingga aku dipandang lemah dan seenaknya mengejek-ejek nama aku. Sebagai seorang anak laki-laki yang diberi nama layaknya seorang anak perempuan, menjadi pukulan juga buat aku. Ketika banyak hal di televisi seperti, Diva Tox (tokoh wanita jahat di serial Power Ranger), Diva Romeo (sebuah acara televisi perjodohan), dan Diva Dangdut (sebuah acara musik yang mencari bakat wanita-wanita penyanyi dangdut) emnjadi bahan ejekan buat aku. Sampai suatu saat aku menemukan arti nama Diva sesungguhnya di sebuah kamus pintar, cukup membuat aku depresi dan bertanya-tanya, kenapa aku diberi nama Diva? Untuk bocah usia tersebut sungguh menjadi beban tersendiri, setiap hari di sekolah diejek-ejek oleh teman dan terasa kesal dengan orang tua yang telah memberikan nama yang cukup asal. Untungnya, tidak ada keinginan untuk mengakhiri hidup, hanya ingin cepat-cepat mengakhiri masa SD. Satu orang yang sering mengejek-ejek Aku, adalah orang yang cukup berpengaruh di kelas.

Salah satu cara untuk mengurangi intensitas bullying adalah dengan cara berprestasi. Aku memang bukan ranking satu, tapi tergolong yang cukup tinggi nilainya. Hal itu membuat intensitas bullying mulai berkurang. Setelah melalui masa SD yang tergolong mencekam, aku mulai membuka lembaran baru di masa SMP. Berusaha mengubah nama panggilan menjadi Teguh, namun tidak berlangsung lama. Untungnya, saat SMP aku bergabung dengan ekstrakulikuler yang aku jalani selama duduk di bangku SMP. Bertemu dengan teman-teman yang layaknya keluarga, bahkan hari Minggu-pun terkadang ada kegiatan, membuat aku bisa lupa dengan depresi yang aku alami saat SD. Di kelas pun akumerasa tidak cocok dengan teman-teman yang lain. Tapi untungnya, berkat bergabung dengan ekstrakurikuler, aku melupakan hal-hal tersebut.

Masuk SMA, aku jauh lebih kuat lagi. Ketika pendaftaran, aku pernah melawan guru karena beliau membahas nama aku. Aku tidak terima, aku suruh guru tersebut tanya pada orang tua aku kenapa diberi nama itu. Memiliki prestasi yang cukup baik dan bergabung dengan ekstrakulikuler dengan teman yang menyenangkan membuat aku tidak dibully di selama SMA. Setelah lulus sekolah hingga saat ini, aku sudah tidak malu lagi menggunakan nama Diva bahkan banyak orang di sekitar aku pun, sudah tidak ada yang membahas mengenai kenapa aku bernama Diva.

Berdasarkan hal tersebut, menurut aku ada dua hal yang bisa kita lakukan agar dapat memutus rantai bullying di sekolah, yaitu:

1. Berprestasi

Jadilah siswa yang berprestasi. Kemampuan akademik kita yang bagus akan membuat kita disegani oleh teman-teman sekelas. Hal yang menjadi kunci adalah ketika kita berprestasi, maka secara otomatis kita akan dekat dengan guru. Guru bisa menjadi tameng agar pelaku bullying tidak akan berani pada kita.

2. Bergabung dengan Ekstrakulikuler atau Kegiatan Lainnya

Bergabung dengan ekstrakulikuler atau kegiatan di sekolah akan memaksimalkan aktivitas kita di sekolah, maka intensitas bertemu dengan si pelaku pun akan berkurang. Ditambah lagi, kita akan memiliki banyak teman. Semakin banyak teman kita, maka pelaku pun akan takut.

Untuk memutus rantai bullying memang harus ada keinginan dari dalam diri. Tapi ingat jangan menggunakan cara-cara kasar, gunakanlah cara-cara yang bermanfaat dan memberikan dampak positif pada kita. Karena untuk memadamkan api itu, harus menggunakan air.

Sabtu, 08 Februari 2020

Belajar Bahasa Inggris: Kuliah atau Belajar Sendiri?


Berbeda dengan orang lain, saya memang agak kesulitan dalam mempelajari bahasa, terkhusus Bahasa Inggris. Saya mempelajari Bahasa Inggris dari kelas 1 SD, sempat suka dan menikmati belajar, namun di tengah perjalanan ada satu hal yang membuat 'tidak suka' dan terpatri hingga saat ini. Kalau diceritakan ya, bisa satu episode sendiri. Setelah mengambil S2 dan bekerja, saya sudah menyadari pentingnya Bahasa Inggris, namun hingga saat ini sulit mencari waktu untuk belajar untuk memperlancar.

Upaya les academic writing sudah dilakukan, saya lulus, tapi seperti ada yang kurang. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kuliah S1 Sastra Inggris. Rencana saya ini tentu sangat didukung oleh orang tua saya. Pada dasarnya, setelah saya bekerja dan menghasilkan uang sendiri, orang tua membebaskan apapun pilihan saya. Cukup bertolak belakang dengan dukungan orang tua saya, teman-teman di sekitar saya malah kurang support dengan keputusan saya ini. Hal ini sangat wajar karena orang-orang di sekitar saya ini pada dasarnya orang pintar dan cerdas yang mampu menguasai apapun dengan cepat.

Setelah mencari kampus, saya putuskan untuk memilih UT dengan program studi Sastra Inggris Bidang Penerjemahan. Alasan saya memilih UT adalah sebagai berikut:
  1. Hanya di bawah 2 juta per semester. Biaya tersebut jauh lebih kecil dibandingkan saya les di salah satu lembaga kursus.
  2. Saya suka belajar santai. Lama studi empat tahun membuat saya bisa memahami secara perlahan tapi pasti.
  3. Tanpa tatap muka adalah hal yang dicari oleh para pekerja yang punya waktu untu pergi ke kampus.
  4. Menjadi mahasiswa merupakan kunci akses ke jurnal-jurnal ilmiah yang bisa digunakan sebagai referensi apapun.
Setelah mencari informasi mulai dari proses pendaftaran hingga proses pembelajaran. Saya mantap untuk mendaftar UT. Saya daftar online di Desember 2019. Ternyata eh ternyata, tidak semudah yang dibayangkan. Setelah daftar online, tidak langsung jadi mahasiswa, ternyata saya harus menyerahkan berkas asli yang saya unggah di pendaftaran online. Pekan pertama Januari 2020 saya menyerahkan berkas-berkas tersebut ke UPBJJ yang saya pilih, yaitu UPBJJ Jakarta di Rawamangun. Setelah menyerahkan berkas-berkas tersebut saya disuruh datang lagi sekitar 7 hari kemudian untuk verifikasi berkas. One step closer menjadi mahasiswa lagi.

Pekerjaan yang cukup pada dan ditugaskan ke luar kota selama beberapa hari membuat saya belum melaksanakan verifikasi berkas. Baru 2 minggu kemudian, saya menyempatkan waktu untuk datang ke UPBJJ Jakarta. Sesampainya di sana, lobby sangat penuh dengan orang-orang. Saya tanya salah satu petugas loketnya, saya pun disuruh untuk mengambil nomor antrean. Karena tidak ada petugas yang berjaga di nomor antrean, saya mengambil semua nomor antrean yang ada. Setelah ada petugas, saya mengembalikan nomor antrean yang salah. Wow, saya harus menunggu 100 orang lagi.

Setelah diperhatikan, ternyata pergerakan nomor antrean itu sangat lama, sekitar 10 menit per nomor antrean. Saya sempatkan untuk menelpon ibu, tentang pendaftaran ini. Saya sempat bilang bahwa saya tidak jadi daftar karena antrenya lama, namun karena ibu sangat mendukung akhirnya saya tetap menunggu. Setelah menunggu sekitar 1 jam, loket tutup untuk istirahat. Petugas pun menyatakan bahwa lembar untuk verifikasi dikumpulkan saja, nanti akan dipanggil. Loket buka lagi 1 jam kemudian. Saya memutuskan untuk kembali ke kantor untuk makan siang dan mengerjakan pekerjaan. Saya putuskan kembali lagi sekitar jam 2 siang. 

Karena kondisi jalan yang cukup macet, saya baru sampai UPBJJ Jakarta sekitar pukul setengah 3 siang. Nomor antrean saya belum terlewat, masih menunggu sekitar 20 orang lagi. Setelah menunggu satu jam, nama saya tak kunjung dipanggil. Saat nomor antrean saya dipanggil, ternyata nama saya sudah dipanggil dari tadi siang. Tapi sayangnya, berkas saya hilang. Petugas di lantai 1 menyuruh saya untuk ke lantai 3. Sesampainya di lantai 3, berkas saya juga tidak ada. Petugas lantai 3 menyuruh saya kembali ke lantai 1. Petugas lantai 3 memarahi petugas lantai 1 karena langsung menyuruh saya ke lantai 3. Sekitar 30 menit berkas tak kunjung ketemu. Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Alhasil saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan tak jadi mendaftar kuliah.

Pada saat itu, saya tidak tahu kalau hari itu adalah hari terakhir pendaftaran kuliah. Calon mahasiswa membludak, pelayanan loket untuk calon mahasiswa baru hanya dibuka dua oranng. Verifikasi berkaspun sangat manual, ditumpuk-tumpuk di meja belakang. Hal itu pun terbukti dengan hilangnya berkas saya dan saling menyalahkan antar petugas lantai 1 dengan 3. Orang-orang yang mengantre bersama saya pun banyak yang mengeluhkan pelayanan. Namun, mereka tetap sabar dengan menunggu berjam-jam. 

Setelah kejadian ini, saya cukup kapok mendaftar kuliah dengan sistem seperti ini. Berkaca pada pendaftaran mahasiswa saat S1 dan S2 dulu, meskipun banyak orang tapi masih terkendali dan tidak membuat menunggu berjam-jam. Niatan untuk kuliah masih ada, hanya sulit mencari kampus dengan sistem tersebut, kebanyakan masih sistem tatap muka. Ide lainnya adalah belajar sendiri, membeli modul di toko buku, dan menyisihkan waktu untuk belajar. Saya mencoba sistem belajar mandiri ini mulai hari ini. Semoga saya bisa rutin dan lancar dalam berbahasa.

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...