Sabtu, 04 Juli 2020

Pengalaman Kost Di Jakarta


Sejak masuk kuliah di tahun 2011, saya memutuskan untuk menjadi perantau. Sebagai perantau tentu saja saya harus menyewa kamar kost untuk dapat tinggal. Setelah lulus dari kuliah dan meninggalkan Jogja, saya berhijrah dan menjadi perantau di Jakarta. Dalam tulisan ini, saya coba mengulas pengalaman saya dalam ngekost karena bisa dibilang saya cukup sering berpindah kost.

Bintaro, April - Mei 2016

Setelah berpindah dari pekerjaan yang lama, saya pun mendapat tawaran bekerja kembali di konsultan perencanaan. Saya dikontrak hingga proyek ini selesai, sekitar 2-3 bulan. Saya pun mendapatkan privilage dari kantor, yaitu kost selama dua bulan. Kost tersebut tidak jauh dari kantor yang berada di Jalan Kesehatan Raya, Bintaro, Jakarta Selatan. Saya tinggal berdua dalam satu kamar kost bersama rekan kantor yang kebetulan senior saya saat kuliah. Fasilitas yang ada dalam kost tersebut antara lain double bed, AC, lemari, dan meja kerja. Untuk kamar mandi, meja makan, dapur, dan televisi merupakan fasilitas bersama yang ada di luar kamar. Tiap kamar memiliki meteran listrik masing-masing sehingga kita bisa kontrol penggunaan listrik masing-masing. Hal yang disayangkan adalah kost tersebut tidak 24 jam. Lewat jam 10 malam, pagar kost sudah dikunci dan para penghuni tidak diberikan kunci tersebut. Apabila pulang lebih dari jam 10 malam, penghuni kost bisa melapor pada penjaga kost dan nanti akan dibukakan. Dibalik ketidakbebasan tersebut ada hal yang membuat bahagia ngekost di sana, yaitu rasa kekeluargaan antara penghuni kost. Kebetulan, saya dan rekan saya hanya dua laki-laki penguni kost sedangkan lima yang lainnya adalah perempuan. Beruntungnya lagi, tiga perempuan tersebut adalah ibu-ibu, jadi tiap minggunya kami patungan untuk konsumsi dan ibu-ibu itu masak untuk kami semua setiap harinya. Sayangnya, saya hanya ngekost selama dua bulan sesuai dengan kontrak dari kantor, jadi saya pun harus meninggalkan kost tersebut.

Kramat Sentiong, Januari - Juni 2017

Saat diterima menjadi mahasiswa S2 di salah satu universitas di Jakarta, tentu saya harus mempersiapkan diri untuk tinggal dan menetap di Jakarta. Sebenarnya, Bapak saya pun kost di Jakarta, namun saya memutuskan untuk ngekost di dekat kampus agar tidak ada biaya transportasi yang dikeluarkan. Kebetulan pula saya tidak memiliki kendaraan yang dapat digunakan. Cukup sulit untuk mencari kost sendiri, saya pun memanfaatkan hasil penelusuran di internet. Dapatlah kost yang terbilang cukup murah di Jalan Kramat Sentiong Gang 2 dengan harga Rp650 ribu per bulan.

Secara fisik kost dan lingkungan sekitarnya bisa digolongkan sangat baik. Namun ada hal yang tidak terduga di kost tersebut. Sang pemilik kost adalah seorang ibu yang sudah cukup sepuh namun fisiknya masih cukup baik. Setiap subuh antara jam 3 hingga jam 4, beliau selalu mengambil sampah yang ada di depan pintu setiap kamar kost. Tidak hanya mengambil sampah, tapi beliau juga sering marah dan berteriak tidak jelas. Saya sendiri tidak punya masalah dengan beliau, bahkan ketika bertemu beliau pun dia senyum. Namun, kebiasaannya berteriak itu cukup mengganggu. Akhirnya, saya memutuskan untuk pindah setelah bertahan selama 6 bulan di sana.

Paseban Timur, Juli 2017 - Desember 2018

Pada hari yang sama keluar dari kost di Kramat Sentiong saya langsung memutuskan untuk pindah ke daerah Salemba, tepatya di Jalan Paseban Timur Gang 14. Setelah hunting sekitar 2 hari dan sempat ditolak oleh salah satu kost karena tidak membayar DP terlebih dahulu, akhirnya saya menemukan kost yang tergolong murah juga. Saya mendapat kost dengan ukuran 5 x 4 meter yang tiap bulannya membayar 750 ribu. Untuk menghemat biaya, saya memutuskan mengajak teman untuk tinggal bersama. Harag kost-pun naik menjadi Rp900 ribu per bulannya.

Semenjak semester 2, lulus, hingga saya bekerja sebagai tenaga kontrak di salah satu instansi pemerintahan, kurang lebih saya bertahan selama 1,5 tahun. Pemiliknya sungguh baik, sering mengajak ngobrol, bahkan sering juga memberikan makanan. Setelah saya mendapat pekerjaan di tempat baru, saya memutuskan untuk pindah karena tidak ada tempat parkir motor. Saya berencana untuk menggunakan motor karena tempat kerja yang baru tidak terakses langsung oleh transportasi publik.


Matraman (kost), Desember 2018 - November 2019

Setelah memperoleh pekerjaan baru, tentu saya ingin meng-upgrade kost. Saya mendapat informasi dari teman saya, bahwa di daerah Matraman tepatnya di Jalan Penegak ada kost AC dengan harga perbulannya Rp1,7 juta sudah termasuk listrik. Pada saat itu, saya bersama teman saya di kosat sebelumnya untuk menyewa 1 kamar. Setidaknya biaya yang dikeluarkan tiap bulannya tidak terlalu mahal jika dibagi dua orang dan dapat kost ber-AC.

Sebenarnya nyaman-nyaman saja dan lingkungannya juga bagus. Hanya saja, karena satu kamar berdua, rasanya privasi kurang terjaga. Apalagi kami semakin lama bertambah usia dan membutuhkan ruang privat masing-masing. Setelah bertahan selama sebelas bulan, kami memutuskan pindah dan mencari kost lain dengan kamar masing-masing.

Matraman (kontrakan), November 2019 - November 2020

Masih bersama teman satu kost sebelumnya, kami menemukan informasi terkait rumah kontrakan di Matraman, hanya sekitar 200 meter dari kost lama. Rumah kontrakan tersebut dihargai Rp24 juta satu tahun dengan ruang tamu, dua kamar, dapur, dan kamar mandi. Rumah tersebut bukan berada di lahan tersendiri melainkan sebuah rumah tingkat. Lantai 1 diisi oleh pemilik rumah dan lantai 2 disewakan. Hal inilah yang membuat listrik dan pompa air masih menjadi satu. Selain itu, berbeda dengan kost sebelumnya yang tepat berada di Jalan Penegak dan memiliki garasi untuk parkir motor, kontrakan ini berada di jalan buntu. Karena berada di lantai 2, pastinya tidak memiliki teras sehingga motor harus parkir di gang.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, saya mulai merasakan kekesalan selama di kontrakan ini. Apalagi saat masa COVID19 ini, saya lebih sering berada di rumah. Di awal pekan pertama saya tinggal di sana, saya sudah ditegur oleh Ketua RT dengan alasan tidak lapor. Berhubung saya dan teman saya adalah pekerja, tentu tidak banyak waktu untuk kami melapor. Seperti tempat kost sebelumnya kami hanya menitipkan fotocopy KTP pada pemilik kontrakan. Ketua RT tidak terima dengan cara seperti itu, intinya kami harus melapor dan bertatap muka dengan beliau. Sebenarnya saya terima saja jika ditegur dengan baik-baik, hanya saja cara beliau sungguh membuat saya kesal. Baru dua minggu tinggal di sana, sudah merasakan ingin pindah.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa listrik masih bergabung dengan pemilik kontrakan sehingga untuk pembayaran listrik, kami dipatok membayar Rp250 ribu tiap bulannya. Saya sudah merasa uang listrik tersebut sangat besar untuk dua orang yang tidak memiliki barang elektronik sama sekali. Pada saat itu, kami setuju saja untuk membayar sebesar tersebut, namun agar kami tidak rugi, kami memakai dua kipas angin dan satu kulkas. Hal yag paling mengejutkan adalah ketika pada masa pandemik yang mengharuskan kami melakukan WFH. Memang, selama WFH dipastikan kipas angin digunakan 24 jam, cukup sering charge laptop, dan teman saya membawa PC untuk bekerja yang sebenarnya tidak digunakan setiap hari. Namun, sang pemilik kost-an berkata bahwa listrik naik dan kami disuruh membayar Rp400 ribu setiap bulannya. Cukup kaget juga dengan biaya sebesar itu, namun pada saat itu saya memaklumi, dan sepakat untuk membayar sebesar itu namun hanya 2 bulan saat WFH saja. Raut wajah si pemilik kontrakan agak kecewa namun mengiyakan. Saya pun meminta pasang AC namun ditolak karena listriknya tidak kuat dan di rumah si pemilik pun sudah ada AC. Kecurigaan saya mulai besar, saat anak-anaknya WFH berarti AC di rumahnya terus menyala dan membuat biaya listrik naik. Artinya, biaya listrik yang saya bayarkan sebenarnya hanya men-subsidi pemakaian listrik sang pemilik yang jauh lebih besar. Saya pun menanyakan pada ibu saya dan rekan-rekan saya terkait penggunaan listrik. Dan jawaban mereka sungguh mengejutkan, penggunaan listrik yang hanya seperti kami pakai tidak mungkin mencapai 200 ribu.

Saat saya kembali WFO, tentu saya minta harga listrik kembali ke seperti semua. Namun, beliau hanya menurunkan 100 ribu dengan alasan penggunaan jetpump. Saya tidak terima karena jika dihitung-hitung penggunaan air, kami hanya berdua dan pemakaian pun masih sama seperti sebelum pandemik. Jika dibanding dengan penghuni rumahnya yang ada 4 orang tentu sangat tidak adil. Saya pun mengultimatum agar dia menunjukan kuitansi pembayaran listrik. Sayangnya dia tidak bisa menunjukan dan akhirnya dia menurunkan kembali harga listrik seperti kesepakatan di awal. Tentu saja, saya pun bilang bahwa tidak akan melanjutkan ngontrak di rumah ini. saya dan teman saya pun harus bertahan hingga November 2020 untuk dapat pergi dari kontrakan ini.

Dari sekian banyak tempat tinggal yang pernah saya coba di Jakarta, memang sangat sulit meperoleh tempat tinggal yang cocok. Ada harga ada kualitas, namun perlu juga mencocokan dengan isi dompet. Cerita ini hanya sekedar sharing saja. Tidak ada maksud untuk menjelekkan pihak manapun. Namun, dengan cerita ini diharapkan dapat berhati-hati dalam memilih tempat tinggal apalagi dengan komitmen yang cukup panjang seperti ngontrak. Kost bulanan itu lebih fleksibel, di saat kita merasa tidak cocok bisa langsung pindah ke tempat baru sedagkan untuk sewa tahunan tentunya sulit sekali untuk pindah jika tidak mau rugi. Tentunya fasilitas dan lingkungan adalah hal terpenting yang menjadi pertimbangan dalam memilih tempat tinggal, selain harga. Fasilitas dan kondisi lingkungan tentu akan menyesuaikan dengan harga yang kita bayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...