Sabtu pagi, 28 Juni 2025, aku bangun pagi karena di hari itu aku akan melakukan training Yoga 100 jam di Sunter. Semua berlangsung seperti biasa, aku belajar dan bercengkerama dengan trainee lainnya. Setelah kegiatan selesai, aku pulang sekitar pukul 16.30. Perjalanan sore itu cukup tersendat, padahal seharusnya dari Sunter ke Pademangan itu tidak jauh. Aku menghabiskan waktu sekitar 45 menit perjalanan karena pada hari ini memang sedang berlangsung PRJ sehingga Jalan Benyamin Sueb sangat padat merayap. Sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali ponselku bergetar, namun tidak aku hiraukan karena aku masih fokus mengendarai motor. Sesampainya di parkiran depan rumah, telepon kembali berdering, nama mama di layar ponsel, langsung ku angkat.
Sambil menangis terisak-isak, mama hanya bilang, "De pulang, papa kritis".
Aku hanya menjawab, "iya pulang sekarang".
Telepon langsung ditutup oleh mama. Akupun masuk ke dalam rumah. Sambil bingung harus bagaimana. Pikiranku seketika blank, namun aku masih sadar. Aku hanya bingung, apakah aku harus mandi dulu, apakah aku ke Gambir, atau aku harus bagaimana? Setelah menghirup nafas yang panjang, aku memutuskan untuk mandi dulu, memasukkan beberapa pakaian dalam dan beberapa barang yang penting untuk di bawa, mematikan seluruh listrik, dan mencabut regulator gas. Aku berpikir, sepertinya aku akan lama di Bandung. Setelahs emuanya beres, aku memutuskan untuk naik motor ke Stasiun Halim dan ke Bandung naik kereta cepat. Dengan harapan aku bisa naik kereta yang jam 18.30. Aku beli tiket on the spot saja karena khawatir terlambat dan hangus tiketnya.
Sepanjang perjalanan perjalanan menuju Stasiun Halim, pikiranku kosong tapi aku masih sadar bahwa aku sedang mengendarai motor. Di flyover Jatinegara, gerimis mulai terasa. Aku memutuskan untuk menggunakan jas hujan. Sesampainya di stasiun aku langsung mencari mesin tiket. Ternyata tidak tersedia kereta jam 18.30 padahal aku sampai di jam 18.15. Akupun memlili kereta jam 19.00. Sepanjang perjalanan aku menelpon temanku dan meceritakan kondisi papa sesuai dengan apa yang diceritakan oleh mama terakhir di telpon. Sesampainya di Stasiun Padalarang, informasi papa telah meninggal dikirim oleh salah satu sepupuku. Mulai saat itu, dunia terasa berjalan sangat lambat.
Perjalanan dari Stasiun Padalarang ke Stasiun Bandung dan dari Stasiun Bandung ke rumah sakit terasa lama sekali. Pikiranku kosong, satu yang kupertanyakan, kok bisa aku mengalami hal ini. Meskipun sudah sedewasa ini, aku masih merasa anak kecil yang punya orang tua yang tidak akan pernah mati. Sedewasa apapun yang aku lakukan saat ini tetapi aku masih anaknya papah mamah selamanya dan tak akan pernah terpisahkan. Ya tapi semua ini pasti terjadi. Pasti ada yang namanya kematian. Aku berjalan dari gerbang rumah sakit tanpa tahu arah. Hal yang ku tahu adalah Gedung Cancer, tempat ayahku biasa di rawat. Naluriku tidak salah, di sebelah Gedung Cancer, tepat jalan menuju basement, sudah berkumpul saudara-saudaraku.Aku diantarkan ke dalam basement, tepatnya ke ruang jenazah. Mama dan kakakku sudah duduk, aku diantarkan untuk melihat jenazah papaku yang sudah terbujur kaku.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiranku masih kosong. Aku ikut prosesi memandikan, melihat saat dikafani, dan menyolatkan di rumah, pikiranku masih kosong. Ini adalah kondisi yang belum pernah terjadi sama sekali. Ketika ada tenda depan rumah serta keluarga dan tetangga berkumpul. Aku belum bisa mencerna semua kejadian ini.
Keeskoan paginya, setelah mandi dan bersiap diri. Aku ikut masuk mobil jenazah untuk dibawa ke masjid untuk di solatkan. Sesampainya di masjid dan jenazah papahku sudah disimpan di masjid, barulah tangisku pecah ruah. Saat mengambil air wudhu aku baru tersadar bahwa aku ditinggalkan oleh salah satu orang tuaku. Saat solat dan perjalanan ke pemakaman pun tangisku tak berhenti. Aku masih tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku teringat saat-ssat terakhir masih jenguk papa ke rumah sakit. Aku teringat kebaikan tetangga dan keluarga yang telah sigap membantu. Kejadian ini sungguh memberikan aku banyak pelajaran. Karena terlalu banyak mengeluarkan air mata, kepalaku jadi terasa berat. Saat ditawari untuk masuk liang lahat, aku tidak kuat dan memilih melihat dari atas.
Selama tujuh hari aku berada di rumah. Cuti yang aku rencanakan untuk bersama keluarga, makan bersama, menjadi cuti berkabung dan memang menemani mama. Untuknya masih ada saudara yang menginap di rumah dan setiap harinya ada saja orang yang melayat. Namun, pasti akan ada hari di mana mama akan sendiri lagi, menjalani kehidupan seperti biasa. Termasuk aku yang harus kembali ke Jakarta untuk berkerja.
Sampai awal Agustus ini memang kegiatanku cukup padat setiap harinya sehingga aku tidak bisa pulang ke Bandung setiap minggunya. Namun, nanti di 40 hari papaku aku akan cuti panjang dan mulai kedepannya aku akan pulang ke Bandung 2 minggu sekali.
Sekian cerita ini. Sejujurnya cerita ini sudah aku konsepkan sejak H+7 kematian papahku. Tapi terlalu sedih untuk diceritakan dan baru diselesaikan pada hari ini. Meskipun sempat berkaca-kaca lagi. Mengingat semua kejadian kemarin yang sangat terasa cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar