Minggu, 06 November 2022

Angkot di Bandung: Serba-serbi Sistem Transportasi di Bandung





Eksistensi angkot di Bandung Raya masih terlihat hingga saat ini, meskipun tengah digempur oleh transportasi online, pandemi Covid-19, hingga munculnya bus rapid transit yang baru, yaitu Trans Metro Pasundan. Nasib mobil angkutan penumpang dengan formasi 7-5 ini semakin miris yang terlihat dari jumlah penumpang yang semakin sedikit dan armada yang semakin tua. Lalu, apakah angkot masih layak dipertahankan sebagai moda transportasi di Bandung Raya?

Pertanyaan tersebut sama seperti video dokumenter karya Yonatan Karya di Youtube, yaitu Nasib Si Tukang Ngetem. Dalam video tersebut menceritakan kondisi angkot saat ini. Angkot tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dibalik itu, terdapat supir-supir angkot yang menggantungkan nasib pada pekerjaannya tersebut. Seiring berjalannya waktu, kondisi mereka semakin terhimpit dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Potensi angkot untuk dapat berkembang sangatlah rendah. Hal ini dikarenakan orientasi para pengusaha angkot adalah pendapatan. Mereka tidak melihat kebutuhan masyarakat yang berkembang secara pesat. Pemikiran para pengusaha masih bersifat tradisional dan cenderung menutup diri dengan perkembangan zaman. Jika melihat tren di masyarakat, masyarakat membutuhkan kecepatan, keamanan, kenyamanan, dan cashless transaction. Otomatis, masyarakat lebih memilih transportasi online untuk memenuhi kebutuhannya walaupun harus membayar biaya lebih mahal.

Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan transportasi publik di Bandung Raya sepertinya kurang serius. Kenyataannya sangat nyata, bahwa geliat aktivitas pergerakan manusia di Bandung Raya ini terus meningkat. Pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan pusat-pusat kegiatan, dan juga urbanisasi ke wilayah pinggiran. Transportasi publik cenderung stagnan, pertumbuhan rute angkot cenderung tidak ada sedangkan jumlah armadanya kian bertambah. Jumlah armada bukan yang dibutuhkan masyarakat. Semakin berkembangnya pusat kegiatan dan urbanisasi, aksesibilitaslah yang dibutuhkan. Tentu saja, pilihan masyarakat ke kendaraan pribadi yang jauh lebih fleksibel dan jauh lebih murah. Malah, hal itu juga didukung oleh pemerintah dengan memberikan berbagai kemudahan seperti kemudahan kredit.

Sebenarnya, bisa saja eksistensi angkot dipertahankan, namun perlu perubahan rute. Biarlah bis besar dan sedang yang melayani rute di jalur utama, seperti jalan arteri dan jalan kolektor dengan tarif flat dan saling terintegrasi. Angkot dapat menjadi feeder dari permukiman ke rute di jalur utama tersebut. Namun, angkot tetap harus berorientasi pada pengguna dengan mengikuti berbagai kebutuhannya. Jika tidak, tentu saja akan kalah dengan ojek online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...