Senin, 19 Desember 2022

Kemarin Kompor Listrik sekarang Kendaraan Listrik



Setelah aku nyinyir terkait rencana kebijakan konversi kompor listrik yang sangat tidak konsisten dan hanya membebani masyarakat, hingga akhirnya kebijakan konversi tersebut meredup dan batal. Sekarang, muncul lagi kebijakan aneh dan membuat aku semakin yakin bahwa negara ini benar-benar tidak konsisten.

Mari kita mulai dengan kondisi kawasan perkotaan di Indonesia. Utamanya adalah kota-kota besar. Pasti teman-teman juga sangat mengerti bahwa mayoritas kondisi perkotaan di Indonesia mengalami kemacetan. Teman-teman juga pasti paham apa solusi dari penanggulangan masalah kemacetan. Namun, apa yang teman-teman pikirkan ketika ada kebijakan pemberian subsidi untuk membeli kendaraan listik?


Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat ini membuat aku cukup geleng-geleng. Ya memang benar, kebijakan ini dapat mengungkit perekonomian karena meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli kendaraan listrik tersebut. Namun, paham gak sih dampak ke depannya? Kalau terus diberi kemudahan untuk membeli kendaraan pribadi tentunya kemacetan tidak akan pernah teratasi. Nanti yang disalahin masyarakat lagi, kenapa beli? Nanti yang disalahin pemerintah daerah karena tidak mampu menyediakan jalan yang cukup dan transportasi yang memadai. Padahal kebijakan itu dari pemerintah pusat.



Menurutku, kebijakan subsidi ini bisa diberikan pada hal yang lebih tepat sasaran. Semisal penyediaan transportasi publik berenergi listrik. Iya kalau transportasi publik berbasis rel sangat sulit direlaisasikan karena biaya konstruksi yang mahal dan penyediaan lahan yang sulit, minimal dengan bis listrik. Pemerintah bisa mendorong industri otomotif untuk memproduksi bis listrik atau sepeda listrik. Subsidi bisa diberikan kepada BUMN, BUMD, private sector, atau pemerintah daerah yang mau membeli kendaraan listrik dalam memenuhi kebutuhan transportasi publik. Biarlah kendaraan listrik tanpa subsidi untuk pasar masyarakat kelas atas saja, jika mampu. Bukankah semakin maju suatu negara adalah yang menggunakan transportasi publik, bukan kendaraan pribadi?


Aku bukan tidak setuju dengan penerapan tilang elektronik, tapi satu hal yang ingin aku tanyakan adalah, tilang elektronik ini buat apa? Tilang elektronik ini lebih tepatnya sebagai alat pencari duit. Pemerintah yang terus mendorong kepemilikan kendaraan pribadi tentunya sejalan dengan peningkatan jumlah pelanggaran. Tilang elektronik ini seperti hantu, kadang terlihat kadang tidak, dan hanya menakut-nakuti warga supaya tidak melanggar lalu lintas. Jika apes terkena tilang, ya tilang elektronik ini jadi alat pencetak duit. Tapi, apakah tilang elektronik ini efektif? Tujuannya apa? Ya kalau tujuannya untuk meminimalisir pelanggaran, ya harusnya paham sama proses hilirisasi. Jangan mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Sediakanlah transportasi publik, alhasil pelanggaran semakin minim. Tapi ya kalo tujuannya nyari duit dari pelanggaran masyarakat, ya bisa jadi tepat penerapan tilang elektronik ini.



Lucunya lagi, tak lama setelah berita terkait subsidi kendaraan listrik, ada wacana terkait kenaikan tarif KRL. Loh? Loh? Loh? Ini benar-benar sangat bertolak belakang banget. Di saat yang masyarakat butuhkan adalah kendaraan publik, ini malah mau dinaikkan tarifnya. Ini sebenarnya pemerintah mau dukung ya mana sih? Pengguna transportasi publik yang banyak digunakan berbagai kelompok masyarakat atau pengguna kendaraan listrik yang mayoritas masyarakat atas. ini malah semakin mempersulit masyarakat enggak sih?


Terakhir, satu hal yang paling lucu. Ada kota yang memperoleh tata kota terbaik di saat wilayahnya banyak yang tergenang banjir. Aku yang puluhan tahun tinggal di Bandung dan sudah belajar ilmu tata kota, sungguh bingung terbaiknya di mana. Ya tata kota terbaik enggak harus jalannya lurus dan kotak-kotak, guna lahannya seperti donat berlapis rapi kaya teorinya Von Thunen. Setidaknya, kalau hujan lebat yang gak banjir, Kalopun tergenang pun enggak lama, paling buruk kalau banjir ya masyarakatnya tanggung dalam menghadapi bencana. Kenyataannya boro-boro tangguh, yang ada banyak kerugian materi bahkan iiwa. 

Inti dari kenyinyiran hari ini adalah sinkronkanlah antara kebijakan di pusat dan di daerah. Jangan hanya keinginan pusat untuk  meningkatkan sektor otomotif tapi lupa dampaknya di daerah dan lepas tangan sama dampak kemacetan. Sinkronkanlah kebijakan masing-masing instansi. Jangan hanya keinginan instansi untuk meningkatkan sektor otomotif tapi malah bikin instansi lain harus naikin harga transportasi publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...