Realisasi APBD yang Bikin Overthinking



Beberapa bulan terakhir ini, aku cukup intens mengikuti pembahasan mengenai realisasi APBD. Kata Bapak Presiden di pertengahan tahun 2021, rata-rata realisasi APBD ini masih sangat rendah. Maka dari itu, Bapak Presiden memerintah beberapa jajarannya untuk mengawal pemerintah daerah dalam rangka mempercepat realisasi belanja APBD. Tentunya dalam mengawal pemerintah daerah, kita perlu mengetahui permasalahan yang terjadi di daerah. Mengapa mereka bisa terlambat dalam merealisasikan APBD-nya tersebut?

Aku bersama tim melakukan pertemuan kepada 18 pemerintah daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota. 18 pemerintah daerah tersebut dipilih berdasarkan tingkat realisasinya APBD hingga pertengahan tahun 2022 kemarin. Ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Hasil kunjungan tersebut tentunya menjadi bahan analisis dan kajian sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam mempercepat realisasi APBD.

Pemerintah pusat sendiri selalu menekankan ke pemerintah daerah untuk terus mempercepat realisasinya. Tapi terlambatnya realisasi tentunya selalu terulang setiap tahun. Dari delapan belas pemerintah daerah yang kami temui, permasalahan keterlambatan realisasi APBD sama. Pertama mereka mengakui bahwa perencanaan kegiatannya buruk, alhasil membuat keterlambatan dalam pengesahan APBD. Otomatis jika pengesahan APBD-nya terlambat, tentunya eksekusinya pun akan mengalami keterlambatan. Kedua, sumber pendapatan pemerintah daerah yang utama adalah dari dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Otomatis, jika transfernya terlambat artinya mereka tidak punya uang untuk belanja. Cepat atau tidaknya dana transfer bukan hanya ditentukan oleh pemerintah daerah dalam menyusun dokumen persyaratan untuk pengajuan dana transfer, tapi ditentukan pula oleh aturan yang dibuat pemerintah pusat tentang petunjuk bagaimana menyusun pengajuan dana transfer tersebut. Ketiga adalah terkait penatausahaan keuangan daerah. Tentunya dalam melakukan belanja, semuanya tercatat secara sistem melalui sebuah aplikasi. Terbitnya Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) mengharuskan seluruh pemerintah daerah menggunakan aplikasi SIPD dalam pengelolaan keuangan daerah. banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan aplikasi tersebut. Ketidaksiapan dan terlalu dipaksakannya aplikasi tersebut untuk digunakan oleh 545 pemerintah daerah, membuat keterlambatan dalam melakukan belanja sehingga realisasinya menjadi rendah. Selain ketiga hal tersebut, tentunya masih ada beberapa permasalahan lainnya yang cukup menghambat, khususnya terkait sumber daya manusia di pemerintah daerah yang terbatas baik secara kualitatif maupun kuantitaif, keterlambatan tender, keterlambatan pembayaran pihak ketiga, dan lain sebagainya.

Namun sejujur-jujurnya, ada pertanyaan menggelitik yang selalu terngiang-ngiang dalam otak aku, APAKAH REALISASI BELANJA DALAM SATU TAHUN SECARA SERIES TIAP BULAN ATAU KUARTALAN PUNYA STANDAR? Aku sudah membaca beberapa jurnal, tidak ada satupun yang menyatakan mengenai standar realisasi APBD. Pemerintah pusat selalu mengesankan bahwa realisasi terbaik yang terus meningkat secara linier. Pemerintah daerah selalu dianggap buruk jika di awal tahun realisasinya rendah dan di akhir tahun tiba-tiba meningkat secara tajam. Akibat dari kesan tersebut, aku sampai sekarang tidak berani menanyakan terkait apakah terdapat standar realisasi atau tidak, hahahaha. Oh ya, dari beberapa jurnal yang aku baca, baik tidaknya pemerintah daerah dalam merealisasikan APBD-nya itu dihitung dalam satu tahun. Perkembangan realisasi dilihat series secara tahunan. Selain itu, terdapat beberapa metode untuk mengukur kinerja pemerintah daerah, seperti kemandirian daerah dan desentralisasi fiskal.




Oke, untuk masalah keterlambatan penyusunan APBD, perencanaan kegiatan, petunjuk teknis pengajuan dana perimbangan, aplikasi atau sistem pengelolaan keuangan daerah yang belum siap, dan sumber daya pengelola keuangan daerah yang kurang baik itu perlu diperbaiki. Namun, mengapa realisasi secara bulanan atau kuartalan dalam satu tahun ini menjadi concern banget? Seberapa urgent pola realisasi yang seperti itu. Apa salahnya jika pemerintah daerah yang telah melalukan perencanaan yang baik dan benar, namun memiliki pola realisasi yang melonjak di akhir tahun. Aku rasa itu tidak masalah sama sekali. Daripada sibuk ngurusin realisasi yang rendah di tengah tahun seperti ini, mending lihat bagaimana realisasi kegiatan yang telah direncanakan pemerintah daerah dan dampaknya terhadap masyarakat.

Aku masih heran juga kenapa tolak ukur kinerja pemerintah kita itu berdasarkan uang, uang, dan uang. Jika pendapatan, oke lah, jelas banget karena pemerintah juga memerlukan uang untuk melaksanakan beragam aktivitasnya, maka target pendapatan menjadi tolak ukur kinerja. Tapi kalau belanja, sebenarnya tidak masalah tidak melakukan belanja tapi output kesejahteraan tercapai. Sebagai contoh adalah perumusan kebijakan. Perumusan kebijakan bisa dilakukan melalui media Zoom Meeting yang biayanya tidak terlalu besar dibandingkan melakukan pertemuan di hotel menghabiskan biaya yang cukup besar.

Contoh lainnya adalah perbaikan jalan. Sebagai masyarakat tentunya kita tidak asing dengan perbaikan jalan yang sering kali dilakukan pada akhir tahun. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa itu adalah proyek yang dipaksakan. Mungkin benar mungkin juga tidak. Menurutku, proyek pembangunan atau perbaikan barang bukan kegiatan yang bisa direncanakan semalam suntuk. Pasti sudah ada perencanaan di tahun sebelumnya. Namun, pelaksananya saja yang mungkin mundur karena berbagai hal yang seperti disebutkan sebelumnya.

Satu hal yang cukup menggelitik adalah ketika seringkali disebut bahwa APBD merupakan pendongkrak perekonomian daerah. Dengan realisasi belanja yang stabil setiap bulannya atau setiap triwulannya, maka pertumbuhan ekonomi di daerah pun bisa stabil peningkatannya, menurut salah satu pejabat. Seperti yang kita ketahui bahwa memang benar bahwa belanja daerah merupakan komponen dari perekonomian daerah. Namun, kita tahu juga bahwa presentasinya sangat rendah jika dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Kalaupun dipaksa untuk menjadi pendorong, itu hanya bualan saja, karena pada dasarnya pendapatan daerah saja sudah rendah, apalagi saat belanja dihemat-hemat. Jadi ada inkonsistensi antara sebutan pendongkrak dengan realisasi yang dibelanjakan. Kalau ditelurusuri lebih detail memang ada pengaruhnya, tapi pengaruhnya sangat kecil.

Jadi inti dari semua ini apa? Hahaha. Mungkin permasalahan terbesarnya ada di aparatur pemerintahnya. Harus ada konsistensi dalam pembangunan dan penggunaan anggaran. Mungkin saja karena banyak kepentingan, baik politik atau kepentingan pribadi jadi penggunaan anggaran seringkali dipaksakan, dipergunakan untuk hal yang tidak penting, yang penting terealisasikan, walau outputnya mungkin tidak jelas. Ini bisa jadi pekerjaan rumah bagi kita semua juga untuk terus mengawal APBD.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Pilihan Jalan

Hari Terakhir Penggunaan Otem

Operasi Gigi Geraham Bungsu RSKGM FKG UI