Minggu, 03 November 2019

Cerita Jatuh Bangun Kehidupan


Setiap orang punya jalan hidup yang berbeda-beda. Jatuh dan bangun adalah hal yang biasa dialami. Semua lika-liku kehidupan itu hanya diri sendiri yang memahami. Banyak orang lain di luar sana merasa jalan hidup kita lurus dan mudah dalam menggapai impian. Hal ini sangat saya rasakan. Banyak orang melihat jalan hidup saya sangat lurus dan lancar tanpa ada kendala. Kenyataannya, saya sudah tidak memikirkan apa yang saya impikan, cukup bagaimana caranya melalui kehidupan ini yang terus berjalan tiap detik ini saja sungguh sangat melelahkan.

Apa yang dipikirkan orang lain tersebut memberikan pelajaran pada diri saya. Ketika orang lain berpikir jalan saya begitu lurus, saya pun tidak boleh berpikir jalan orang lain pun lurus dan sangat indah. Yakinlah bahwa setiap orang punya proses masing-masing dan orang tersebut pasti sangat kuat usahanya. Selain itu, biarkanlah cerita perjuangan ini jadi motivasi khususnya bagi diri sendiri karena setiap jalan cerita kehidupan memberikan kenangan indah tersendiri.

Pada tulisan kali ini, saya akan menceritakan secara singkat tentang kehidupan pribadi. Bahwa memang benar, hidup itu up and down serta apa yang diinginkan kita mungkin kurang baik atau kurang tepat diperoleh menurut Tuhan. Namun, yakinlah bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik pada umatnya jika mau mencoba, berdoa, dan berusaha. Tak ada usaha yang mengkhianati hasil.

Kegagalan Masuk SMP Favorit

Sejak umur 1 tahun saya tinggal di Kabupaten Bandung. Namun urusan sekolah, mama yang menentukan. Meskipun kami hidup dengan kesederhanaan, mama tidak mau menyekolahkan anak-anaknya dekat rumah karena kualitasnya. Bahkan, Kota Cimahi yang jauh lebih dekat dengan rumah, mama tidak mau, pokoknya anak-anak harus sekolah di Kota Bandung walaupun biaya sekolahnya lebih mahal ditambah lagi ada ongkos perjalanan karena rumah dan sekolah cukup jauh.

Saya bersekolah di SD negeri yang berada di pusat kota dengan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam dari rumah bila naik angkutan umum. Mama-papa memang tidak terlalu mengintervensi kehidupan sekolahku karena pada saat itu papa harus kehilangan pekerjaanya dan mama harus berjualan di pasar. Pesan terpenting yang diberikan adalah bahwa anaknya harus belajar sesuai dengan kemampuannya tanpa ada paksaan untuk menjadi ranking 1. Saya pun belajar biasa saja, namun memang menjadi salah satu siswa yang terbaik di kelas walau tidak ranking 1.

Cara berpikir mama dalam memilih sekolah terpatri dalam diri saya. Sejak saat itu, saya sudah menentukan ingin bersekolah di SMP dan SMA terbaik nomor 2 di Kota Bandung. Tidak memilih yang nomor 1 karena sadar diri. Namun, setelah saya berusaha semaksimal mungkin untuk masuk ke sekolah favorit itu, ternyata gagal. Saya hanya bisa masuk sekolah pilihan dua, ya walaupun sekolah itu masih favorit tapi saya sungguh kecewa.

Ketika ditempatkan di SMP, sebenarnya saya masuk kelas unggulan nomor dua  tapi kekecewaan gagal masuk SMP yang diinginkan masih mendarah daging sehingga prestasi di kelas VII tidak memuaskan. Bahkan saya masuk 5 terendah di kelas.

Hal yang perlu disyukuri adalah ketika saya memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler PMR. Sebenarnya itu bukan ekskul pilihan saya, namun akhirnya bisa loyal hingga lulus SMP. Hal ini dikarenakan saya mendapatkan teman-teman yang sudah seperti keluarga. Kekecewaan masuk SMP itu sirna karena adanya teman-teman yang sangat baik melebihi teman-teman saat saya SD.

Kegagalan Masuk SMA Favorit

Prestasi saya saat SMP mulai meningkat. Dari sinilah kepercayaan diri masuk SMA kluster 2 mulai membara. Pada saat itu, sistem pendidikan di Kota Bandung memperbolehkan calon siswa memilih tiga pilihan yang tiap pilihannya harus dalam satu kluster. Tiap pilihan secara berhierarki sesuai dengan hierarki kluster. Pemilhan kluster 2 sebagai pilihan pertama sudah tepat karena hasil UN saya standar. Pada saat UN, saya sangat menyesal karena benar-benar mengerjakannya sendiri. Tidak mengikuti saran orang lain yang katanya memperoleh kunci jawaban. Penyesalan itu bertambah menjadi kekesalan karena nilai UN itu mendorong saya masuk pada pilihan ketiga yang ada di kluster 4. Otomatis saya masuk sekolah yang tidak favorit. Pada saat itu, saya ditawari masuk SMA terbaik di Cimahi melalui jalur kenalan papa. Tapi saya menolak karena saya lebih memilih sekolah di Bandung. Saya semakin menyesal karena menyadari sekolah terbaik di Cimahi itu selevel dengan sekolah kluster 1 di Bandung.

Saat di SMA saya berusaha mensyukurinya. Hal ini terbukti saya mendapat sahabat baik, bisa menjadi siswa berprestasi, dan dipercaya oleh guru untuk mengikuti event-event tertentu. Saya pun kembali bangkit dari keterpurukan dan belajar dengan sungguh-sungguh. Pada kelas X saya bisa mencapai ranking 1, namun tidak di kelas XI dan XII. Hal ini karena ada salah satu siswa yang melakukan gratifikasi kepada wali kelas supaya dia bisa ranking 1. Pada saat itu saya tidak peduli karena masuk kuliah tidak dinilai dari peringkat. Hal ini dikarenakan saya sudah memutuskan untuk mengikuti SNMPTN. Saya tidak berusaha seperti siswa lain yang memohon untuk mark-up nilai untuk PMDK karena program studi yang ditawarkan lewat jalur PMDK tidak menarik minat saya.

Kegagalan Masuk Universitas Negeri dan Ketidakpercayaan Diri Memilih Program Studi

Memang ada rasa kesal ketika melihat hasil UN SMA yang rerata 80. Apalagi jika dibandingkan dengan teman saya yang prestasinya lebih rendah yang nilai UN-nya di atas saya. Namun, saya mencoba membela diri. Hal terpenting adalah lulus SMA karena masuk kuliah tidak ditentukan dengan nilai UN.

Kekesalan saya semakin berkecamuk ketika hasil SNMPTN menyatakan saya tidak lolos satupun dari dua pilihan. Sungguh sangat menjengkelkan. Ditambah lagi suara-suara yang menyatakan keanehan bahwa orang seperti saya bisa gagal ujian. Namun, orang tua saya tetap memberikan semangat. Ketika saya memutuskan untuk tidak kuliah dan fokus untuk SNMPTN tahun depan, orang tua menolak dengan keras. Saya harus kuliah walau harus di universitas swasta. Kekecewaan membuat saya buta sehingga pilihan prodi saya serahkan pada orang tua. Saya diarahkan untuk mengambil teknik mesin di kampus swasta. Saya pun lolos dan jadi mahasiswa teknik mesin. 

Sebenarnya, saya tidak terlalu cocok dengan teknik mesin. Tapi, saya terus mengikuti proses perkuliahan. Sampai semester 2 saya memperoleh IP di atas 3,5. Di semester 3 saya memutuskan untuk ambil SKS penuh dan disetujui oleh dosen pembimbing. Namun, mama saya menawarkan kesempatan lain untuk mengikuti SNMPTN lagi. Awalnya saya tidak mau, namun mama memaksa untuk ikut. Akhirnya saya putuskan untuk ikut. Pilihan universitas dan prodi sepenuhnya adalah keputusan saya. Mama tidak ikut campur. Atas dasar pertimbangan tahun lalu, niat ambil kembali prodi teknik mesin atau teknik sipil harus digagalkan. Saya putuskan untuk ambil Teknik Planologi di Yogyakarta. Saat pengumuman, ternyata saya berhasil lolos. Orang tua sangat senang meskipun mama agak kecewa ketika saya harus pergi merantau. Namun, orang tua yakin bahwa itu pilihan terbaik anaknya.

Saat pertama kali belajar mengenai teknik planologi, ada rasa ketidaksesuaian diri dengan prodi yang diambil. Di tahun pertama, IP saya hanya 3,3 tidak sesuai dengan target. Di semester berikutnya saya mencoba memperbaiki diri dan bisa lulus 8 semester degan predikat cumlaude.

Belum Adanya Kesempatan Untuk Menjadi Pegawai Tetap dan Keputusan Untuk Mengambil Magister

Setelah lulus kuliah, saya ditawari bekerja kontrak di konsultan perencanaan di Bandung. Ini merupakan kesempatan emas untuk kembali ke Bandung. Kontraknya hanya 4 bulan. Setelah kontrak berakhir, iming-iming sang manajer untuk mengajak saya dalam proyek memang hanya iming-iming. Setelah itu, saya menganggur, mencoba melamar sana-sini, pergi ke jobfair. Pada saat itu, saya masih memegang teguh untuk bekerja di bidang yang sesuai. Inginnya bekerja di BUMN konstruksi atau pengembang, namun selalu gagal.

Saat uang benar-benar habis, untungnya senior saya mengajak untuk bergabung di konsultan lagi dengan kontrak 2 bulan. Saya iyakan walau harus hijrah ke Jakarta. Setelah kontrak berakhir, orang tua menyarankan untuk mengambil magister dengan biaya sendiri. Saya menolak dan ingin mencari beasiswa terlebih dahulu. Saya mencoba mendaftar LPDP, namun gagal karena TOEFL tidak memadai. Akhirnya saya mengambil tawaran dibiayai orang tua. Namun saya memilih kampus di Jakarta yang biayanya cukup mahal. Walau agak keberatan orang tua akhirnya setuju. Saya meyakinkan bahwa saya akan dapat beasiswa Kemendikbud karena TOEFL saya sesuai. Sayangnya ketika saya mendaftar beasiswa tersebut, Kemendikbud mengubah batas bawah nilai TOEFL dari 450 ke 500, otomatis saya gagal.

Pilihan kampus Jakarta dengan pertimbangan agar saya bisa sambil bekerja. Dalam memilih prodi pun saya pikirkan matang-matang. Saya keluar dari zona nyaman dan memutuskan untuk kuliah ekonomi terapan di prodi Perencanaan dan Kebijakan Publik. Ketika berhasil diterima di program magister sungguh sangat senang, namun ternyata ini adalah tantangan baru dalam hidup saya. Saya harus belajar ekonomi yang membuat otak melilit, saya harus hidup dengan segala keterbatasan karena uang bulanan dari orang tua hanya 2 juta termasuk kost, dan mencari pekerjaan untuk menambah pundi-pundi. Selama kuliah saya tidak mendapat pekerjaan, sempat ditolak di perusahaan swasta, dan diterima menjadi guru privat. Menjadi guru privat pun tidak semudah itu karena pelajaran yang saya ampu tidak banyak diminta oleh siswa, ditambah lagi pengajar laki-laki tidak diminati. Pencarian beasiswa pun tidak berhenti, ada tawaran beasiswa Tanoto Foundation bagi mahasiswa on-going. Saya berhasil hingga tahap interview dan setelah itu saya kembali menelan pil kepahitan karena saya gagal memperoleh beasiswa. 

Untungnya ditengah liburan semester, saya kembali ditawari membantu konsultan perencanaan dengan kontrak selama 2 bulan. Setidaknya ada tambahan pundi-pundi dalam tabungan saya.

Terus Mencoba Melamar

Saya memutuskan untuk lulus kuliah di semester 3 dan itu berhasil. Jeda waktu menunggu wisuda yang tiga bulan lagi sungguh sangat lama apalagi dalam keadaan menganggur. Saya mencoba melamar sana-sini di berbagai perusahaan termasuk di instansi pemerintah. Selama 3 bulan itu ada satu panggilan kerja dari instansi pemerintah. Saya disuruh mempersiapkan diri untuk wawancara via Skype dengan nomor urutan ke-7. Namun, saya tidak dipanggil lagi karena sudah ada kandidat yang terpilih lebih dahulu.

Kegiatan saya hanya merevisi tesis hingga selesai, mengikuti seminar tenaga kerja, atau mengikuti seminar hasil di kampus. Pada saat itu uang sudah sangat menipis. Saya sudah mendaftarkan 2 konferensi dengan mengirimkan tesis saya. Konferensi di Yogyakarta harus saya tidak hadiri karena keterbatasan ongkos menuju sana. Saya hanya hadir yang di Bogor.

Sehari sebelum gladiresik wisuda atau dua hari sebelum acara konferensi di Bogor, saya ditelpon oleh salah satu instansi pemerintah untuk hadir wawancara. Saya pun memastikan hadir sesuai jadwal, yaitu jam 9 dan izin jam 13 ada gladiresik wisuda. Setelah wawancara, akhirnya saya pun diterima di instansi tersebut dan dapat bekerja di awal September 2018. Walaupun gajinya kecil, saya terima saja. Saya melupakan latar belakang pendidikan, gaji sebelumnya, dan apapun itu karena ini pertama kalinya saya bekerja langsung di instansi pemerintahan dan supaya tidak menganggur.

Di tengah perjalanan saya bekerja, dibukalah penerimaan CPNS 2018. Tentu ini ini menjadi salah satu yang wajib dicoba. Saya pun mencobanya dengan mendaftar sebagai analis perekonomian dengan kualifikasi S2 ekonomi regional. Untungnya, nama prodi di ijazah yang berbeda dengan kualifikasi tidak menjadi masalah. Pada saat itu ada kepasrahan gagal seleksi berkas, namun bila ada adu argumen saya siap karena kekhususan yang saya ambil saat kuliah adalah ekonomi perencanaan kota dan daerah.

Tahap berikutnya adalah Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Sudah belajar mati-matian ternyata saya hanya memperoleh predikat P2, artinya salah satu kelompok ujian tidak sesuai dengan passing grade, namun lolos secara nilai total. Hal ini dikarenakan nilai Tes Karakteristik Pribadi (TKP) di bawah passing grade. Masih ada harapan untuk lulus tapi sangat kecil. Saya lupakan kesempatan jadi PNS. Ternyata SKD saya lulus dan bisa mengikuti tes psikologi dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Hasil tes psikologi hanya pihak penyelenggara saja yang mengetahui sedangkan hasil SKB langsung muncul setelah ujian selesai. Dan hasilnya, saya hanya memperoleh skor 45%. Pupus sudah harapan menjadi PNS. Ketika hasil akhir diumumkan, ternyata saya lulus dengan predikat P2/L. Saya bersyukur karena akhirnya bisa menjadi pegawai tetap.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, PNS bukanlah cita-cita tapi suatu kesempatan. Pendidikan dan pekerjaan yang telah saya lakukan selalu berhubungan dengan pemerintah dan masyarakat membuat pilihan PNS sebagai salah satu pekerjaan yang saya coba. Tapi ujian tidak berhenti di situ. Substansi yang saya bayangkan dengan kenyataan ternyata bertolak belakang. Saya perlu effort yang lebih ekstra untuk mengikutinya. Overthinking menjadi kelemahan saya, membuat 5 bulan pertama saya merasa blank bekerja. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan informasi dan keterbatasan fasilitas di instansi pemerintah yang baru ini membuat gairah kerja dan belajar saya melemah.

Saat ini, saya mencoba berpikir ulang tentang apa yang saya alami dan saya dapatkan selama hidup. Saya merasa kurang bersyukur atas nikmat yang diberikan. Saya mencoba mensyukuri dan ikhlas. Ternyata itulah kuncinya. Overthinking diminimalisir dan saya bisa bekerja menjadi lebih baik. Saya ikhlas dan pasrah pada takdir Tuhan. Sampai sekarang saya bahagia bisa bekerja di instansi tersebut karena memiliki rekan kerja yang baik. Memang pasti ada drama di setiap perkantoran, khususnya di level atas. Namun, itu semua dapat dihindari yang penting memperkuat di level staf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekhawatiran Komunikasi

Sehubungan aku lagi membaca buku berjudul  Intercultural Communication , jadi terpikir untuk membahas sedikit tentang komunikasi. Lebih tepa...